MANAJEMEN PESANTREN
Memahami pesantren dalam ruang lingkup manajemen pendidikan, hal ini dapat ditinjau dari beberapa sudut pandang yang mengarah pada perspektif seremonial, substansial dan religiusitas. Dalam perspektif seremonial, pesantren dipandang sebagai sebuah lembaga pendidikan yang berkenan menyelenggarakan sistem pendidikan, seperti layaknya lembaga pendidikan formal lainnya yang berperan dalam mewujudkan sebagian cita-cita dan tujuan pendidikan yang telah digariskan oleh Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional. Aspek yang dikembangkan dalam perspektif seremonial, pesantren tidak terlepas dari bidang lain sebagai pendukung kegiatan, yakni aspek material sebagai standar dan ukuran atas besarnya jumlah dana yang disediakan dalam mengembangkan program pesantren dan aspek material yang berhubungan dengan kelengkapan fisik yang dimiliki oleh pesantren dalam menyelenggarakan program kegiatan belajar-mengajar pada pesantren terkait yang selaras dengan tujuan pendidikan guna mengarah pada pencapaian substansial pesantren. Tujuan pendidikan yang dikembangkan oleh pesantren, secara substansial mengarah pada pembentukan kualitas hasilpendidikan yang dapat dijadikan sandaran bagi kebutuhan umat (islam) dalam melibatkan diri secara lebih mendalam akan partisipasinya sebagai stakeholder, sehingga pada gilirannya pesantren akan muncul sebagai mercusuar yang berkenan menyinari kebutuhan umat manusia bukan saja pada makna keberagamaan, tetapi pada sisi lain dari kehidupan serta peradaban manusia.
Mengakar pada substansial pesantren, maka sebagai lembaga pendidikan Islam, pesantren berkenan dalam meningkatkan mutu, baik kuantitas maupun kualitas kelembagaannya, terutama dilihat dari sisi penyelenggaraannya maupun dari sisi manajemennya, sehingga proses kegiatan penyelenggaraan pendidikan yang terjadi di pesantren tersebut dapat senantiasa mengarah pada orientasi dan kualitas pendidikan yang benar-benar diharapkan oleh masyarakat. Aspek yang dikembangkan dalam menjawab tantangan pesantren secara substansial dibutuhkan beberapa perhatian antara lain: (1) aspek human resources (sumber daya manusia) sebagai perencana, pelaksana, penilai dan memberikan arah bagi tindak lanjut program yang dikembangkan oleh pesantren, (2) aspek budaya organisasi yaitu munculnya nilai dan norma yang yang sekaligus menjadi kontrol atas perkembangan dan kemajuan pesantren agar senantiasa selaras dengan norma keagamaan yang selama ini berkembang. Oleh sebab itu, tidak heran ketika muncul ke permukaan tentang salah satu pernyataan yang menjelaskan bahwa pesantren akan hidup dan mati oleh tingkat kepedulian masyarakatnya . 1 Dengan kata lain bagi pesantren yang baru tumbuh akan sangat membutuhkan masyarakat sebagai perpanjangan dari kebijakan pendidikan yang ditetapkan oleh pesantren, sehingga pesantren ini akan berkembang pesat sesuai dengan tingkat dan kepedulian masyarakatnya. Bagi pesantren berkembang, masyarakat akan menjadi tumpuan atas peningkatan dan pelayanan mutu yang diselenggarakan oleh pesanten tersebut, sehingga hubungan yang harmonis akan memberikan dampak yang sangat berarti bagi pemenuhan sarana dan fasilitas belajar santri dan pada gilirannya santri sebagai peserta didik mampu menyerap model pengajaran yang disampaikan oleh para ustadznya sebagai pendidik dan pengajar yang mengacu kepada isu dasar profesionalimenya. Prinsip ini pun dapat berlaku bagi ustadznya yang telah dibekali dengan kemampuan mendidik dan mengajar dengan di lengkapi oleh fasilitas mengajar yang permanen, sehingga masukan, proses dan hasil yang dicapai oleh kedua komponen tersebut akan lebih bermakna bagi keberhasilan dalam kegiatan
proses belajar-mengajar.
Pesantren dikenal sebagai lembaga dan sistem pendidikan Islam tertua di Indonesia yang tumbuh dan berkembang dimasyarakat. Dalam operasionalnya pesantren memiliki nilai-nilai pokok yang tidak dimiliki oleh lembaga lain pertama cara pandang kehidupan yang utuh (Kaffah) adalah sebagai ibadah Kedua, menuntut ilmu tidak berkesudahan (Long life edcucation yang kemudian diamalkan. Ilmu dan ibadah adalah menjadi identik baginya yang dengan sendirinya akan muncul kecintaan yang mendalam pada ilmu pengetahuan sebagai nilai utama. Ketiga keihlasan bekerja untuk tujuan bersama.
Pesantren telah lama menjadi lembaga yang memiliki kontribusi penting dalam ikut serta mencerdaskan bangsa. Banyaknya jumlah pesantren di Indonesia, serta besarnya jumlah santri pada tiap pesantren menjadikan lembaga ini layak diperhitungkan dalam kaitannya dengan pembangunan bangsa di bidang pendidikan dan moral. Perbaikan-perbaikan yang secara terus menerus dilakukan terhadap pesantren, baik dari segi manajemen, akademik (kurikulum) maupun fasilitas, menjadikan pesantren keluar dari kesan tradisional dan kolot yang selama ini disandangnya. Beberapa pesantren bahkan telah menjadi model dari lembaga pendidikan yang leading. Pesantren merupakan lembaga pendidikan yang unik. Tidak saja karena keberadaannya yang sudah sangat lama, tetapi juga karena kultur, metode, dan jaringan yang diterapkan oleh lembaga agama tersebut. Karena keunikannya itu, C. Geertz menyebutnya sebagai subkultur masyarakat Indonesia (khususnya Jawa). Pada zaman penjajahan, pesantren menjadi basis perjuangan kaum nasionalis-pribumi. Banyak perlawanan terhadap kaum kolonial yang berbasis pada dunia pesantren. 2
-
?
PEMBAHASAN
-
Manajemen Pesantren
Secara historis, pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang di-kembangkan secara indigenous oleh masyarakat Indonesia. Karena sebenarnya pesantren merupakan produk budaya masyarakat Indonesia yang sadar sepenuhnya akan pentingnya arti sebuah pendidikan bagi orang pribumi yang tumbuh secara natural. Terlepas dari mana tradisi dan sistem tersebut diadopsi, tidak akan mempengaruhi pola yang unik (khas) dan telah mengakar serta hidup dan berkembang di tengah-tengah masyarakat.[2] Terkait dengan manajemen pesantren yang merupakan sarana penggunaan seumberdaya yang efektif untuk mencapai sasaran maka perlu adanya stretegi atau siasat seperti ditegas oleh Bapak Mujamail Qomar bahwa manajemen penuh siasat yang diarahkan untuk mencapai sebuah tujuan 2. Sebagai seni, manajemen lebih menitik beratkan pada peranan manusia sebagai pelaku manajemen dengan menggunakan pendekatan scientific, tetapi juga professional. Merupakan Lembaga Pendidikan Islam yang paling variatif adalah Pesantren, mengingat adanya kebebasan dari kiai pendirinya untuk mewarnai pesantrennya itu penekannya pada kajian tertentu. Misalnya, ada pesantren ilmu “ alat”, pesantren fiqih, Pesantren Al Qur’an, Pesantren hadits, atau pesantren tasawuf. Masing-Masing didasarkan pada keahlian kiainnya. Ditinjau dari kesegiterbukaan terhadap perubahan-perubahan yang terjadi dari luar, pesantren dapat dibagi dua : Pertama Pesantren salafi dan kedua pesantren Pesantren khalafi.Pesantern salafi bersifat kenservatif sedangan khalafi bersifat adaptif Adaptasi dilakukukan terhadap perubahan dan pengembangan pendidikan yang merupakan akibat dari tuntutan perkebangan sains dan teknologi.
Perbedaan pesantren tradisional dengan pesantren modern dapat diidenfifikasi dari perpespektif manajerialnnya. Pesantren modern dapat telah dikelola secara rapi dan sistematis dengan mengikuti kaidah-kaidah manajerial yang umum. Sementara itu, pesantren tradisional berjalan secara alami tanpa berupaya mengelola secara efektif. Maka pembahasan manajemen ini lebih diarahkan pada pesantren tradisional karena pesantren ini mengahadapi tantangan multidiensi.3
-
Manajer Pesantren dan Kekuasaannya
Di kalangan pesantren kiai merupakan aktor utama. Kiailah yang merintis Pesantren, mengasuh, menentukan mekanisme belajar dan kurikulum serta mewarnai dalam kehidupan sehari-hari sesuai dengan keahlian dan kemampuan yang dimilikinya.Tugas sorang kiai memang sangat mutifungsi : sebagai guru, mubaligh, sekaligus manajer. Sebagai guru, kiai menekankan kegiatan pendidikan para santri dan masyarakat sekitar agar memiliki kepribadian muslim yang utama; sebagai mubaligh kiai berupaya menyampaikan ajaran islam kepada siapapun berdasarkan prinsip memerintahan kebaikan dan mencegah kemungkaran ( Amar ma’ruf nahi mungkar) dan sebagai manajer kiai memerankan pengendalian dan pengaturan bawahannya. Nuryam Syam menambahkan tiga fungsi kiai : Pertama Sebagai agen Budaya. Kiai memainkan peran sebagai penyaring budaya yang merambah masyarakat. Kedua Kiai sebagai mediator yaitu menjadi penghubung antara kepentingan berbagai segmen masyarakat. Ketiga Sebagai makelar budaya dan mediator. Kiai menjadi penyaring budaya sekaligus penghubung berbagai kepentingan masyarakat.4 Dalam pesantren kiai merupakan figure sentral, otoritatif, dan pusat seluruh kebijakan dan perubahan disamping itu juga sebagai pempimin tunggal yang memegang hampir mutlak. Uniknya rangkaian kebiasaan tersebut memunculkan kenyataan bahwa adalah pempimpin yang kharimmatik.5 Menurut Nurcholis Madjid ada beberapa kerugian kepemimpinan karismatik antara lain Karisma,Personal,Religio-Feodalisme,Kecakapan teknis.
Ada empat kerugian kepemimpinan kharismatik tersebut :
-
Ketidakpastian dalam perkembangan pesantren karena semua hal tergantung kepada keputusan pribadi kiai.
-
Keadaan kurang mendukung tenaga-tenaga pembantu untuk mencoba pengembangan yang belum diterima figur kepemimpinan yang ada.
-
Pola pergantian kepimpinan berlangsung secara tiba-tiba dan tidak direncanakan sehingga lebih banyak ditandai oleh sebab-sebab alami seperti meninggalnya pempin secara mendadak.
-
Terjadianya pembauran dalam tingkat pempimin dipesantren antara lokal regional dan nasional.
-
Starategi Kepemimpinan Pesantren.
Masa Depan pesantren sangat ditentukan oleh faktor manajerial. Pesantren kecil akan berkembang secara signifikan manakala dikelolola secara profesioanal. Dengan pengelolaan yang sama pesantren yang mudah besar akan bertambah besar. Sebaliknya pesantren yang maju akan mengalami kemunduran manakala manajemennya tidak terurus dengan baik. Jika pesantren mengabaiakan manajemen pesantren kecil akan gulung tikar dalam mengahadapi multideimensi.Pola-Pola kepemimpinan kiai dipesantren yang selama ini kurang kondusif menghadapi tantangan-tantangan moderenisasi bahkan perlu diubah menjadi pola-pola kepemimpinan yang lebih responsif terhadap tuntutan kemajuan zaman. Pola tersebut haruslah mengarah pada kegiatan yang melibatkan lebih banyak orang lain lagi dalam jajaran kepemimpinan, untuk bersama-sama menjalankan roda organisasi pesantren menuju kondisi yang maju dan mapan, baik dari sisi kelembagaan, sistem pendidikan, proses pembelajaran, maupun-tentu saja-kaulitas santri.
Dari beberapa kasus perkembangan ini hendaknya dimulai dari perubahan gaya kepemimpinan pesantren. Yaitu dari karismatik menuju rasionalistik, dari otoriter-paternalistik dari dipolomatik menuju-partisipatif atau dari laisesezfire menuju demokaratik. Gaya-gaya kepemimpinan yang diharapkan terwujud pengarah pada tipe kepemimpinan yang profesional yang memberi perhatian khusus pada partisipasi orang lain dalam menentukan pengembangan pesantren.4 Menurut Farhan dan Syarifuddin Ada beberapa alternatif solusi menata manajemen pesantren agar lebih maju antara lain : Pertama Mengadopsi manajemen modern Kedua Membuat wirausaha Ketiga Melakukan pelatihan kewirausahaan Keempat Membuat network ekonomi.
Adapun solusi yang lain agar manajemen pesantren menjadi lebih maju antara lain :
-
Menerapkan manajemen secara profesional.
-
Menerapkan kepemimpinan yang kolektif
-
Menerapkan demokratisasi kepemimpinan
-
Menerapkan manajemen struktur
-
Menanamkan sosio-egalitarianisme
-
Menghidarkan pemahaman yang mensucikan agama
-
Memperkuat penguasaan epistimologi dan metodologi
-
Mengembangakan sentra-sentra perekonomian.
-
Mengadakan pembaruan secara kesinambungan.6
Kasus yang ada pada beberapa pesantren telah membuktikan bahwa peranserta kiai dalam mengelola, mengembangkan dan menata pesantren sehingga dapat muncul sebagai sebuah lembaga yang dapat dijadikan pendidikan alternatif memiliki peranan yang sangat besar, sebab tidak jarang pesantren akan tutup dikarenakan oleh beberapa hal yakni: pertama kharismatika kiai di pesantren tersebut telah luntur bersama meninggalnya kiai utama sebagai pendirinya, Kedua tidak adanya pengganti yang dapat meneruskan estapet kepemimpinanya, Ketiga kesibukan kiai yang dapat mengabaikan proses belajar-mengajar Keempat kurang seimbangnya tuntutan kebutuhan belajar santri dengan pelayanan yang diberikan oleh pesantren tersebut. Menggaris bawahi tentang kurang seimbangnya tuntutan belajar santri dengan inovasi pelayanan pendidikan pada sebuah pesantren akan memungkinkan dampak yang paling buruk bagi perkembangan belajar santri yaitu kurangnya stabilitas proses belajar-mengajar yang senantiasa mempertimbangkan efektifitas dan efisiensi hasil belajar. Kerangka pemikiran dibawah ini lebih menggambarkan sikap inovasi kepemimpinan kiai yang senantiasa mempertimbangkan nilai-nilai tradisi, orientasi dan strategi untuk melihat kasus yang berkembang pada pesantren masa lalu, transisi dan masa sekarang sebagai ukuran inovasi pelayanan pendidikan dipesantren, sehingga tercipta desain pembaharuan yang dapat menjunjung tinggi nilai-nilai profesionalisme dan indikator pembaharuan sebagai modal dasar bagi terciptanya kualitas layanan pendidikan di pondok pesantren.
-
Kinerja Manajemen Pesantren
Adapun beberapa kinerja pesanntren untuk mwujudkan manajemen yang baik maka memerlukan sebuah kebersamaan antara laian pertama Merencankan Program kedua pengoranisasian ketiga Memimpin keempat Pemberian motivasi kelima Pengawasan keenam Evaluasi 7
-
Peran Pesantren Dalam Proses Pembangunan Sosial
Jika melihat beberapa hasil studi yang dilakukan beberapa sarjana, seperti Dhofier (1870), Martin (1740), dan ilmuwan lainnya, ada indikasi bahwa munculnya pesantren tersebut diperkirakan sekitar abad ke-19. Akan tetapi, terlepas dari persoalan tersebut yang jelas signifikansi pesantren sebagai sebuah lembaga pendidikan Islam tidak dapat diabaikan dari kehidupan masyarakat muslim pada masa itu. Kiprah pesantren dalam berbagai hal sangat amat dirasakan oleh masyarakat. Salah satu yang menjadi contoh utama adalah, selain pembentukan dan terbentuknya kader-kader ulama dan pengembangan keilmuan Islam, juga merupakan gerakan-gerakan protes terhadap pemerintah kolonial Hindia Belanda. Di mana gerakan protes tersebut selalu dimotori dari dan oleh para penghuni pesantren. Setidaknya dapat disebutkanya misalnya; pemberontakan petani di Cilegon-Banten 1888, 8 Jihad Aceh 1873, gerakan yang dimotori oleh H. Ahmad Ripangi Kalisalak 1786-1875) dan yang lainnya merupakan fakta yang tidak dapat dibantah bahwa pesantren mempunyai peran yang cukup besar dalam perjalanan sejarah Islam di Indonesia.9 Apabila kita cermati, di Indonesia terdapat sekira 12.000 pesantren yang tersebar di seluruh nusantara dengan berbeda bentuk dan modelnya. Bahkan, dihuni tidak kurang dari tiga juta santri. Pendidikan Islam sekarang di Indonesia kini begitu luas. Sehingga, beranekaragam dan bagaimanapun aliran Islam yang dianut oleh seseorang, pasti ada pesantren atau sekolah Islam yang sesuai.dianut oleh seseorang, pasti ada pesantren atau sekolah Islam yang sesuai. Karena itu, menurut Tholkhah, pesantren seharusnya mampu menghidupkan fungsi-fungsi sebagai berikut, 1) pesantren sebagai lembaga pendidikan yang melakukan transfer ilmu-ilmu agama (tafaqquh fi al-din) dan nilai-nilai Islam (Islamic vaues); 2) pesantren sebagai lembaga keagamaan yang melakukan kontrol sosial; dan 3) pesantren sebagai lembaga keagamaan yang melakukan rekayasa sosial (social engineering) atau perkembangan masyarakat (community development).10 Semua itu, menurutnya hanya bisa dilakukan jika pesantren mampu melakukan proses perawatan tradisi-tradisi yang baik dan sekaligus mengadaptasi perkembangan keilmuan baru yang lebih baik, sehingga mampu memainkan peranan sebagai agent of change.
-
Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Pondok Pesantren
Ketika menginjak abad ke-20, yang sering disebut sebagai jaman modernisme dan nasionalisme, peranan pesantren mulai mengalami pergeseran secara signifikan. Sebagian pengamat mengatakan bahwa semakin mundurnya peran pesantren di masyarakat disebabkan adanya dan begitu besarnya faktor politik Hindia Belanda.10merupakan lembaga pendidikan yang tak tergantikan oleh lembaga pendidikan manapun. Dan, hal itu sampai sekarang masih tetap dipertahankan. Yang menarik di sini adalah bahwa pendidikan pesantren di Indonesia pada saat itu sama sekali belum terstandarisasi secara kurikulum dan tidak terorganisir sebagai satu jaringan pesantren Indonesia yang sistemik. Ini berarti bahwa setiap pesantren mempunyai kemandirian sendiri untuk menerapkan kurikulum dan mata pelajaran yang sesuai dengan aliran agama Islam yang mereka ikuti. Sehingga, ada pesantren yang menerapkan kurikulum Depdiknas (Departemen Pendidikan Nasional) dengan menerapkan juga kurikulum agama. Kemudian, ada pesantren yang hanya ingin memfokuskan pada kurikulum ilmu agama Islam saja. Yang berarti bahwa tingkat keanekaragaman model pesantren di Indonesia tidak terbatasi. Setelah kemerdekaan negara Indonesia, terutama sejak transisi ke Orde Baru dan ketika pertumbuhan ekonomi betul-betul naik tajam, pendidikan pesantren menjadi semakin terstruktur dan kurikulum pesantren menjadi lebih tetap. Misalnya, selain kurikulum agama, sekarang ini kebanyakan pesantren juga menawarkan mata pelajaran umum. Bahkan, banyak pesantren sekarang melaksanakan kurikulum Depdiknas dengan menggunakan sebuah rasio yang ditetapkannya, yaitu 70 persen mata pelajaran umum dan 30 persen mata pelajaran agama. Sekolah-sekolah Islam yang melaksanakan kurikulum Depdiknas ini kebanyakan di Madrasah. 11
Ternyata pesantren mampu mengembangkan kelembagaan dan eksistensi dirinya secara berkelanjutan. Mengutip Sayid Agil Siraj (2007), ada tiga hal yang belum dikuatkan dalam pesantren. Pertama, tamaddun yaitu memajukan pesantren. Banyak pesantren yang dikelola secara sederhana. Manajemen dan administrasinya masih bersifat kekeluargaan dan semuanya ditangani oleh kiainya. Dalam hal ini, pesantren perlu berbenah diri. Kedua, tsaqafah, yaitu bagaimana memberikan pencerahan kepada umat Islam agar kreatif-produktif, dengan tidak melupakan orisinalitas ajaran Islam. Salah satu contoh para santri masih setia dengan tradisi kepesantrenannya. Tetapi, mereka juga harus akrab dengan komputer dan berbagai ilmu pengetahuan serta sains modern lainnya. Ketiga, hadharah, yaitu membangun budaya. Dalam hal ini, bagaimana budaya kita dapat diwarnai oleh jiwa dan tradisi Islam. Di sini, pesantren diharap mampu mengembangkan dan mempengaruhi tradisi yang bersemangat Islam di tengah hembusan dan pengaruh dahsyat globalisasi yang berupaya menyeragamkan budaya melalui produk-produk teknologi.
-
G. Personalia Manajemen Pesantren
Ada lima elemen personalia manajemen pesantren dasar yang terdapat dalam tradisi pesantren. Pertama , santri. Santri dapat dikatakan sebagai komponen penting dalam dunia pesantren. Dalam tradisi pesantren santri terbagi dua: (l) Santri mukim yakni murid-murid yang berasal dari daerah jauh dan bertempat tinggal di lingkungan pesantren atau pondok, dan (2) santri kalong, yaitu murid-murid yang berasal dari desa-desa sekitar pesantren, yang biasanya tidak menetap dalam pondok. Kedua kiai. Kiai merupakan komponen terpenting dalam kehidupan pesantren. la adalah pelopor bagi kelahiran pesantren yang dipimpinnya dan menjadi pemegang dan penentu kebijakan yang ada di seluruh pesantren. Pada tingkat tertentu, kemajuan dan perkembangan pesantren tergantung pada sang kiai. Para kiai di Pulau Jawa banyak menganggap bahwa pesantren itu bagai kerajaan kecil yang dimilikinya. Konsekuensi logisnya, kekuasaan mutlak dan wewenang dalam kehidupan dan lingkungan pesantren sepenuhnya ada di tangan kiai. Di pesantren, dengan demikian, kiai menjadi penguasa tunggal sehingga tidak bisa ditentang oleh siapa pun, kecuali oleh kiai yang memiliki pengaruh lebih besar. Para santri hanya menjadi orang yang mengharap dan berpikir bahwa kiai akan percaya penuh kepada dirinya sendiri, baik dalam soal-soal pengetahuan Islam, manajemen atau bidang kekuasaan di pesantren. Ketiga, pengurus adalah santri-santri senior yang diberi amanat oleh kyai untuk menglola santri dalam kepngurusan pesantren 12
-
Model Kepemimpinan Pesantren
Dengan masuknya disiplin ilmu manajemen modern dalam dunia pondok pesantren, maka memberikan warna terhadap perlunya pondok pesantren malakukan onovasi terutama mengenai visi misi dan manajemen kepemimpinannya, Azyumardi Azra (1986; 229) mengemukakan bahwa pesantren yang merupakan lembaga pendidikan Islam indigenous, telah berusaha melakukan berbagai eksperimentasi untuk menyesuaikan dengan sistem pendidikan modern, terutama pada segi-segi yang berkaitan dengan masalah kurikulum, teknik dan methode pengajaran, hal ini diawali pada tahun 70-an, akan tetapi perubahan-perubahan tersebut ternyata tanpa melibatkan wacana epostimologi, akibatnya medernisasi dalam dunia pondok pesantren hanyalah berlangsung secara adhoc (parsiall, sebab itulah modernisasi yang dilakukan pesantren selama ini hanyalah bersifat involutiuf; yakni sekedar perubahan-perubahan yang hanya memunculkan kerumitan baru dari pada terobosan-terobosan yang betul-betul bisa dipertanggung jawabkan, (Azyumardi Azra, 1999; 40).
Dalam penelitian lapangan Dhofier mengemukakan bahwa kyai dan pesantren telah memainkan peranan sebagai creative cultural makers dan dengan peran itulah kyai memainkan peranan yang sangat penting dalam konteks masyarakat muslim Indonesia modern, kyai dengan pesantrennya telah mampu menyumbangkan atas tumbuh dan berkembangnya kebudayaan Indonesia yang distinetive, lebih lanjut dikatakan Dhofier bahwa problema pembaharuan dalam pesantren terjadi karena adanya kontradiksi pada sebagian pesantren berupa tarik menarik antara kalangan muslim tradisional dengan gayanya yang memiliki kecenderungan yang kuat untuk menemukan kembali nilai-nilai tradisional kemudian diinterprestasikan kembali sesuai dengan persepktif baru dan yang lebih menekankan nilai-nilai tradisional sebagaimana adanya, (Zamakhsyari Dhofier, 1982; 175-176). Pergeseran makna kepemimpinan dalam pondok pesantren telah memberikan nuansa yang berbeda terutama bila dilihat dari segi perencanaan dan kinerja produktivitas pesantrennya, walaupun mungkin memiliki kesamaan misi yang diemban oleh pesantren yang memiliki gaya kepemimpinan tradisional dengan gaya kepemimpinan pesantren yang modern yaitu membawa umat kepada jalan kebajikan.
Melihat dari lintasaan sejarah, kebanyakan kepemimpinan pondok pesantren tradisional dipegang oleh keluarga yang memiliki golongan darah biru, (Khaerul, 2001; 70), hal ini membuktikan bahwa hanya dari golongan terdekatlah yang dapat Dari kebanyakan pesantren modern yang ada, sekarang ini cenderung masih mempergunakan gaya kepemimpinan yang mengarah kepada sistem tradisional, dan hal ini merupakan ciri dasar utama bagi pesantren, walaupun pada sisi lain mempergunakan gaya dan desain yang modern hal ini dibuktikan oleh beberapa pondok pesantren yang ada. Dari sekian banyak pesantren yang ada, sistem yang dipergunakan dalam pesantren tersebut cenderung mengarah kepada maknisme dan kepemimpinan yang dapat disebut sebagai demokrasi terpimpin, sehingga salah satu ciri dari demokrasi seperti ini dapat berakibat bagi peralihan kepemimpinan kyai yang meninggal, sehingga lajim dikatakan bahwa selama kyai tersebut hidup maka tajuk kepemimpinan berada dibawah naungan sepenuhnya. Terlepas dari ragam kepemimpinan pondok pesantren yang ada dan masing-masing memiliki corak dan gaya kepemiminan yang berbeda, sebagai suatu disiplin ilmu pengetahuan, maka penulis tertarik untuk membahas mengenai sejauh manakah gaya kepemimpinan pondok pesantren melakukan re-generasi dalam kepemimpinannya, serta sejauhmanakah re-generasi kepemimpinan tersebut mempengaruhi terhadap visi dan misi memimpin pondok pesantren, hal ini terbukti pada berberapa pesantren. yang diemban oleh pesantren sebagai lembaga pendidikan milik masyarakat (khususnya umat Islam), dan bagaimanakah tanggapan umat terhadap pesantren mekanisme dan kinerja pesantren yang melakukan re-generasi kepemimpinannya, juga dari efektifitasnya sehingga kesan utama yang akan timbul, maka sejauh manakah pesantren modern telah melakukan inovasi bagi kelanjutan pesantren tersebut. 13
KESIMPULAN
-
Manajemen pesantren modern itu dikelola secara baik, profesional, rapi, sistematis, dengan mengikuti kaidah-kaidah manajerial umum. Sedangan manajemen pesantern tradisonal berjalan secara alami tanpa dikelola secara efekfit yang biasannya dikelola secara tradisi bukan profesionaslisme berdasarkan keahlian (skil), human skil, concepskill maupun tecnical skill. Secara terpadu.
-
Adapun langkah-langkah yang harus dilakukan oleh seorang manajer pesantren untuk mengelola pesantrennya dengan baik dapat melakukan hal-hal sebagai berikut : (a)Menerapkan manajemen secara profesional. (b) Menerapkan kepemimpinan yang kolektif (c)Menerapkan demokratisasi kepemimpinan (d)Menerapkan manajemen struktur (e) Menanamkan sosio-egalitarianisme (f) Menghidarkan pemahaman yang mensucikan agama (g)Memperkuat penguasaan epistimologi dan metodologi (h) Mengembangakan sentra-sentra perekonomian.(i)Mengadakan pembaruan secara kesinambungan.
-
Kinerja Manajemen Pesantren : (a) perancaan (b)pengoranisasian (c) kepemimpinan (d)pemberian motivasi (e) pengawasan (f)
-
Model kepimpinan pesantren Melihat dari lintasaan sejarah, kebanyakan kepemimpinan pondok pesantren tradisional dipegang oleh keluarga yang memiliki golongan darah biru), hal ini membuktikan bahwa hanya dari golongan terdekatlah yang dapat Dari kebanyakan pesantren modern yang ada, sekarang ini cenderung masih mempergunakan gaya kepemimpinan yang mengarah kepada sistem tradisional, dan hal ini merupakan ciri dasar utama bagi pesantren, walaupun pada sisi lain mempergunakan gaya dan desain yang modern hal ini dibuktikan oleh beberapa pondok pesantren yang ada
DAFTAR PUSTAKA
Ainurrafiq Dawam dan Ahmad Ta’arifin. 2005. Manajemen Madrasah Berbasis Pesantren. Listafariska Putra
Mujamil Qomar, Manajemen Lembaga Pendidikan Islam, (Jakarta : Erlangga, 2007
http//www. Kinerja Manajemen Pondok Pesantren dan Proese Pembelajaran . com diakese tanggal 30-07-2010
Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, (Jakarta ; LP3ES, 1985),
Sulthon Masyhud dkk., Manajemen Pondok Pesantren, (Jakarta : Diva Pustaka, 2003)
http//www. Manajemen Pesantren.co.iddiakses tanggal 30-07-2010
Karel A. Stenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah Pendidikan Islam dalam Kurun Modern, Jakarta : LP3S, 1986
Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, Jakarta ; LP3ES, 1985
Sulthon Masyhud dkk., Manajemen Pondok Pesantren, Jakarta : Diva Pustaka, 2003
1 http//www. Manajemen Pesantren.co.id, (Nur Aedi, 2003: 68) diakses tanggal 30-07-2010
2 [1] Ainurrafiq Dawam dan Ahmad Ta’arifin. 2005. Manajemen…, hal. 5
[2] Ainurrafiq Dawam dan Ahmad Ta’arifin. 2005. Manajemen Madrasah Berbasis Pesantren. Listafariska Putra., hal. 5
2 Mujamil Qomar, Manajemen Lembaga Pendidikan Islam, (Jakarta : Erlangga, 2007),11
4 Prof. Dr. Mujamil Qomar, Opcit.hlm. 71
7 http//www. Kinerja Manajemen Pondok Pesantren dan Proese Pembelajaran . com diakese tanggal 30-07-2010
10 Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, (Jakarta ; LP3ES, 1985), hal 8
11 Sulthon Masyhud dkk., Manajemen Pondok Pesantren, (Jakarta : Diva Pustaka, 2003), hal. 73
12 ibid
12 http//www. Manajemen Pesantren.co.iddiakses tanggal 30-07-2010
Posted in Penglolaan Santri
Tinggalkan komentar